KERAJAAN YANG TERLUPAKAN
"ARU"
Kerajaan Aru atau Haru merupakan sebuah
kerajaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang. Nama kerajaan ini
disebutkan dalam Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi sebagai berikut “Sira Gadjah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti
palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa,
lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu,
ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa” Bila dialih-bahasakan mempunyai
arti : “Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin
melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai)
Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram,
Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah
saya (baru akan) melepaskan puasa .
Sebaliknya
tidak tercatat lagi dalam Kakawin Negarakertagama sebagai negara bawahan sebagaimana tertulis dalam
pupuh 13 paragraf 1 dan 2.
Sementara
itu dalam Suma Oriental disebutkan
bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang kuat Penguasa Terbesar di
Sumatera yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan
yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing. Dalam laporannya, Tome Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan
armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas
kapal-kapal yang melalui Selat Malaka pada masa itu.
Gambar 1 : Lokasi Kerajaan Aru |
Lokasi Kerajaan Haru
Terdapat
perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru. Winstedt
meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada
pula yang berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt
menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang
Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang
menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk
Haru/Langkat).
Sejarah
Dalam
perjalanan Marco Polo di tahun
1292 Kerajaan Aru tidak disebutkan, diindikasikan adanya 8 (delapan) kerajaan
di Pulau Sumatera yang seluruh penduduknya penyembah berhala. Kunjungan ini
bertepatan dengan pembentukan negara-negara pelabuhan Islam pertama. Beberapa
kerajaan yang disebutkan Ferlec (Perlak), Fansur (Barus),Basman (Peusangan)-di daerah Bireuen sekarang- , Samudera (kemudian dikenal Pasai) dan Dagroian (Pidie). Tiga kerajaan lainnya tidak disebutkan. Sumber lain
menambahkan Lambri (Lamuri) dan Battas (Batak).
Haru pertama
kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan
menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan
pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295.
Islam masuk
ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13. Kemungkinan Haru lebih dulu
memeluk agama Islam daripada Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan
dikonfirmasi oleh Tome Pires. Sementara peduduknya masih belum semua memeluk
Islam, sebagaimana dalam catatan d'Albuquerque (Afonso
de Albuquerque) (Commentarios, 1511, BabXVIII) dinyatakan bahwa
penguasa kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera bagian Utara dan Sultan Malaka
biasa memiliki orang kanibal sebagai algojo dari sebuah negeri yang bernama
Aru. Juga dalam catatan Mendes Pinto (1539), dinyatakan adanya
masyarakat 'Aaru' di pesisir Timur Laut Sumatera dan mengunjungi rajanya yang
muslim, sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa sudah mencatat tentang kerajaan Aru
yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme. Namun tidak ditemukan pernyataan
kanibalisme dalam sumber-sumber Tionghoa zaman itu.
Terdapat
indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama
pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo.
Gambar 2 : Pusat Kerajaan Aru |
Pada abad
ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang
Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411. Setahun
kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali
mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar
upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat
Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma
Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.
Pada abad
ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai,
Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang
memindahkan ibukotanya ke Bintan. Haru menjalin hubungan baik dengan
Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai
ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya,
dan Sultan
Mahmud Syah menikahkan
putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan
Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di
Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak. Catatan
Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja
Haru Sultan Ali Boncar terbunuh oleh pasukan Aceh.
Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka
maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan
Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.
Aceh kembali
menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil
mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan
sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi
bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.
Kemerdekaan
Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda dari Aceh,
yang naik tahta pada 1607. Dalam surat Iskandar Muda kepada Best bertanggal tahun 1613 dikatakan, bahwa Raja Aru telah ditangkap; 70 ekor
gajah dan sejumlah besar persenjataan yang diangkut melalui laut untuk
melakukan peperangan-peperangan di Aru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru
juga digantikan dengan nama Deli.
Wilayah Haru
kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli. Hingga terjadi sebuah pertentangan
dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Deli dan
dibentuknya Kesultanan
Serdang di tahun
1723.
Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Raja Haru
dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai
Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho
dalam pengembaraannya . Dalam Hikayat
Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut
diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah
Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.
Sumber-sumber
Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan
jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya
adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri
itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya
berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan.
Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah
mengonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk
perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan
kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan
barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan
lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96) .
Peninggalan
arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan
Cina dan India. Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau
Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar. Agaknya
kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam menarik minat
pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota Cina. Raja-raja Haru
kemudian mengalihkan perhatian mereka ke perompakan.
Haru memakai
adat Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin para pembesarnya menggunakan
gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri
Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya,
dan unsur-unsur adat non-Melayu (Batak/Karo) masih ada.
Daftar raja-raja
Gambar 3 : Benteng Putri Hijau |
- Sultan Husin (...-...)
- Sultan Mansur Shah (1456-1477)
- Sultan Ali Boncar (...-...)
Berkaitan
dengan penguasa Aru, tidak dapat dipisahkan dengan peran lembaga Raja Berempat, yang menurut Peret (2010) telah
ada sebelum pengaruh Aceh. Raja Urung di pesisir ini meliputi Urung Sunggal. Urung XII Kuta, Urung Sukapiring dan Urung Senembah, yang masing-masing berkaitan
dengan Raja Urung di dataran tinggi (Karo), yakni Urung Telu Kuru merga Karo-Karo), Urung XII Kuta
(merga Karo-Karo), Urung Sukapiring (merga Karo-Karo) dan Urung VII Kuta (merga Barus).
Dalam
kesempatan berikut, Raja Berempat ini berperan dalam penentuan calon pengganti
Sultan di Deli/Serdang, dengan menempakan Datuk Sunggal sebagai Ulun Janji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar